DEPOK – Teknologi biokonversi menggunakan magot (larva black soldier fly/BSF) telah menjadi inovasi yang semakin populer di masyarakat Indonesia dan dunia saat ini. Mulai dari perannya sebagai sumber pakan (ikan dan ternak), mengatasi masalah lingkungan, perbaikan kualitas lahan pertanian hingga sumber ekonomi masyarakat. Tapi di atas itu semua adalah melahirkan cara pandang baru yang sangat penting bagi negara-negara tropika yang hingga sekarang belum ada satu pun di antaranya bisa menjadi negara maju. Mengapa? Karena kita belum bisa mensyukuri dan memanfaatkan sifat intrinsik iklim tropika yaitu panas, lembab, basah yang menyebabkan semua bahan organik cepat terdekomposisi dan tersedia sinar matahari sepanjang tahun yang menyebabkan tingginya tingkat keanekaragaman hayati. Lalat memberikan informasi bahwa mereka tidak mati di gudang pemyakit seperti di tempat sampah atau kotoran ternak. Sebaliknya, dengan berkah enzym atau antimicrobial peptides dalam tubuh mereka, patogen-patogen yang banyak dikandung sampah organik atau kotoran hewan dan sejenisnya dibersihkan oleh maggot BSF.  Jadi, sekarang dengan biokonversi sampah organik atau kotoran ternak serta limbah biologis lainnya, kita sudah membangun cara berpikir baru untuk bisa beradaptasi dengan sifat intrinsik iklim tropika.

Perjalanan inovasi biokonversi di Indonesia dari tahun 2004 hingga saat ini telah menjadi “jendela inovasi” yang menginspirasi banyak masyarakat dan dunia industri. Di sisi lain, tidak sedikit juga kendala dan tantangan yang seharusnya bisa diatasi secara bersama.

Berangkat dari perjalanan tersebut, Asosiasi BSF Indonesia (ABSF-I atau ABI?) sebagai organisasi mewadahi para pelaku teknologi biokonversi (peneliti, akademisi, industri, komunitas, dll) dalam visi yang sama untuk “kelola sampah menjadi berkah”. 

“Memasuki usia ke 20 tahun biokonversi, kehadirannya telah membawa dampak yang sangat signifikan baik terhadap lingkungan (degradasi food waste, reduksi emisi karbon), menghadirkan protein terbarukan menuju pangan mandiri, menghadirkan lapangan kerja dan industri baru dalam bingkai ekonomi sirkular,” kata Ketua Umum ABSF-I Prof Agus Pakpahan. 

Dalam merefleksikan dan merayakan perjalanan 20 Tahun Biokonversi di Indonesia tersebut, ABSF-I menyelenggarakan Diskusi Nasional BSF dengan tema Dukungan BSF dalam Membangun Ekonomi Sirkular dan Pengurangan Emisi Karbon. 

Diskusi menghadirkan pelaku budidaya, pengguna maggot, pemerintah, lembaga swadaya/ pemberdayaan masyarakat, institusi keuangan dan komunitas lingkungan yang digelar pada Sabtu (30/11/2024) di Aula BRBIH (Balai Riset Budidaya Ikan Hias, KKP) Jl. Perikanan No.13, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. 

Diskusi tersebut menghadirkan Prof. Rachmat Pambudy (Menteri PPN/Kepala Bappenas), kemudian 

Dr. I Nyoman Radiarta, S.Pi. M.Sc. (Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, KKP), Rosa Vivien Ratnawati, SH, M.Sc. (Direktur Penanganan Sampah KLH), Mohamad Rahmat Mulianda, S.Pi, M. Mar (Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas), dan Priyanto Rohmattullah, SE, MA (Direktur Lingkungan Hidup Bappenas). Kemudian ada Kwanyoung Kim, Ph.D (Circular Economy Expert, Gyeongsang National University, South Korea), Bram Dortmans (Eclose GmbH), Chalid Muhammad (Ketua Dewan Sampah Indonesia) dan 

Markus Susanto (CEO PT Maggot Indonesia Lestari). 

Bapak Dr. Joni haryadi dalam sambutannya menyebutka  kehadiran Teknologi Biokonversi menggunakan BSF di Indonesia tidak terlepas dari peran BRBIH, dimana Balai ini merupakan pelopor teknologi BSF bersama peneliti dari Perancis pada tahun 2004, demikian juga asosiasi BSF lahir di Balai ini. Beliau berharap kehadiran ABSF-I sebagai wadah koordinasi penggiat, akademisi, pemerintah, dan pengusaha menjadi katalisator pengembangan magot masa depan. ABSF-I merupakan wahana komunikasi, informasi, representasi, konsultasi dan fasilitasi usaha antara pihak ABSF-I dan pemerintah serta dunia usaha dalam rangka membentuk iklim usaha yang bersih, transparan dan profesional, serta mewujudkan sinergi seluruh potensi usaha di Indonesia.

“Di usia yang ke 20 tahun aktifitas biokonversi di Indonesia telah menunjukkan kematangan konsep dan manajemen sehingga dapat berlari dengan kencang menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan dan pangan di negeri ini dengan konsep sirkular ekonomi,” Bapak Joni Haryadi Sebagai Kepala BRBIH

Dikatakan, inovasi biokonversi lahir dari tantangan dan permasalahan terbesar pembudidaya ikan di Indonesia yaitu ketersediaan pakan dengan kualitas bagus dan harga terjangkau. 60-70% biaya produksi ikan dikeluarkan untuk pembelian pakan. Di sisi nutrisi “terbuang” sia-sia di alam dalam bentuk sisa organik makanan”, kehadirannya menjadi permasalah lingkungan, penyebaran penyakit serta bau yang tidak mengenakan.

Sebagai informasi; Indonesia pada tahun 2023 menghasilkan 38.7 juta ton sampah secara nasional dengan timbulan 106,2 ribu ton/hari berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Khusus timbulan sampah organik makanan tercatat 15,4 juta ton per tahun atau setara dengan 42,2 ribu ton per hari. 

Adapun 39,82% dari total volume sampah merupakan sampah organik makanan, dengan karakter; kandungan air yang tinggi, mengeluarkan bau yang tidak menyenangkan, nilai ekonomis rendah, dan menjadi tempat hidup dan berkembangnya bakteri patogen, kondisi ini sering sekali mengurungkan niat banyak pihak untuk mengelolanya.

Menurut hasil kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) bersama sejumlah lembaga, Indonesia membuang sampah makanan 23-48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019 atau setara dengan 115-184 kilogram per kapita per tahun. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan sebesar Rp 213 – 551 triliun/tahun atau setara dengan 4-5 persen PDB Indonesia per tahun. Secara sosial, kehilangan ini setara dengan kandungan energi untuk porsi makan 61-125 juta orang per tahun.

Narahubung: 

Sekjen ABSF-I  Melta Rini : 

Div Humas ABSF-I  Heri :